Sepertinya benar, bahwa
dalam benda-benda usang tersimpan kumpulan kenang yang tak mudah terlupakan.
Seperti sore ini, ketika
kubuka-buka lagi tumpukan buku lama—yang tiap tepiannya sudah kusut dan
terlipat, tiap tulisan di dalamnya pun sudah memburam dan jadi sulit
dibaca—berisi cerita-cerita yang kubuat saat masih sekolah dulu.
Tak sengaja, ada selembar
putih jatuh dari satu halaman buku yang kubuka. Kupungut kertas itu, sambil
mengernyit heran.
Kuamati kertas itu, kubaca
rangkaian kalimat yang tertulis di atasnya. Tulisannya rapi dan masih bisa
dibaca dengan jelas, meski ditulis menggunakan pensil. Ini sebuah cerpen yang
belum terselesaikan, tentang seorang gadis kecil bernama Sabrina dan rasa
rindunya pada sang Mama.
Seketika, kurasakan rindu
ikut membuncah dalam benak. Penggal kisah ini sama sekali tak pernah kulupa,
begitu pun penulisnya. Apa kabar dia sekarang ya?
#
Dia, yang awalnya hanya
kukenal sebatas nama, tiba-tiba menghampiriku di hari pertama masuk di kelas
sebelas, dan berkata, “Dinda, sebangku
sama aku yuk!”
Dan masih kuingat baik,
saat itu aku terkejut sebentar, terdiam, sebelum akhirnya mengangguk tersenyum.
Dia, yang setia
mendengarkan dan memberi nasihat untuk kisah dan keluhku yang itu-itu saja.
Dia, yang hampir selalu
membaca semua karanganku, yang saat itu masih ditulis tangan dan terkadang
berantakan, dan mengoreksinya.
Dia, yang tetap sabar
membantuku memahami deretan rumus Matematika, meski ia tahu aku mudah lupa dan
enggan bersahabat dengan angka-angka.
Dia, yang pada suatu hari
memakai sepatu kets ke sekolah. Ketika sampai di hadapanku, aku menertawainya,
karena baru sekali ini kulihat dia memakai sepatu olahraga seperti itu. Bagiku
agak aneh, karena biasanya dia memakai sepatu model selop.
Tapi dia malah menanggapi
tawaku dengan senyum, sambil berkata, “Ayo
Din, kuajari menalikan sepatu.”
Aku tertegun sebentar,
kemudian tersenyum lebar dalam haru. Tak kusangka, ia masih mengingat keluhanku
tentang sulitnya mengikat tali sepatu yang kulontarkan beberapa hari
sebelumnya.
Dia, yang pada hari
ulangtahunku menghadiahkan sebuah hiasan keramik berbentuk beruang coklat
mungil yang lucu.
Dia, yang pada beberapa
siang seusai sekolah meluangkan waktu untuk mengunjungi rumahku, untuk belajar
kelompok, mengerjakan PR bersama, atau sekadar mengobrol dalam canda.
Dan dia, yang masih selalu
menyapaku dengan sebutan “Dindong”, sejak enam tahun lalu hingga sekarang. Aku
sama sekali tak keberatan dengan sapaan buatannya itu, dan hanya dia yang boleh
menyapaku dengan nama itu, hehehe…
#
Ini untuk dia, teman
sebangku, sahabat sejak SMA.
Masihkah ingat pada cerpen
di lembaran kertas yang kamu tulis?
Masihkah gemar
mendengarkan Aku Pasti Kembali milik
Pasto?
Masihkah kamu pergi ke
mana pun dengan mengayuh sepedamu?
Ini untukmu, seorang gadis
dengan nama yang unik bagiku, Like Fitria Valentinna. Sebenarnya sudah sejak
lama aku ingin menuliskan ini untukmu.
Terimakasih untuk telah
menjadi salah satu sahabat terbaikku hingga kini. Persahabatan kita memang tak
sempurna. Terkadang berhias amarah dan luka. Tapi mempunyaimu, tetap menjadi
salah satu anugerah terindah dalam hidupku.
Selalu jaga kesehatanmu,
ya, meski kini kamu sedang dilarutkan pekerjaan. Salamku untuk Bapak, semoga
beliau juga selalu sehat. Tak lupa, doa juga tersemat bagi Almarhumah Mama dan
Ibumu di haribaan-Nya…
Tetap tegar, semangat, dan
tersenyumlah selalu… :)
#
…’Cause
you know, I’d walk a thousand miles
If
I could just see you, if I could just hold you tonight…
-Vanessa
Carlton
30 Agustus 2015
Dara
Komentar
Posting Komentar