Hancur
hancur hancur hatiku… hatiku hancur…
Ya, kini hati saya sedang hancur. Lebur
bersama duka yang membaur. Meski saya akui, ada setitik rasa syukur.
#
Bagi saya, hidup layaknya sebuah undian.
Setiap kita yang lahir, pasti akan menghembuskan napas terakhir. Tuhanlah yang
memegang setiap kartu, menetapkan kapan giliran yang tak terbantahkan.
Satu hal penting, adalah, “Bagaimana nanti kita dikenang setelah
meninggal, semua tergantung pada segala laku kita semasa hidup di dunia.”
#
Yoga Syahputra. Lelaki itulah yang akan saya
toreh kenangannya di sini, kali ini. Kenangan? Kenang apa gerangan? Apa saya
kenal dekat dengannya? Pernah berjumpa?
Tidak! Saya belum pernah sekali pun bersua
raga, apalagi mengaku bahwa saya dekat dengannya.
Namun, saya hampir selalu bertemu dengannya
setiap hari, di hampir semua stasiun TV. Pagi, ia ada dalam sebuah acara musik.
Siang, sore, malam, ia ada di bermacam program komedi. Apalagi jika Ramadhan
tiba, coba nyalakan televisi. Ia pasti sudah ada di salah satu acara, bercanda
tawa, bahkan jauh sebelum Subuh.
Saat itu, saya sempat merasa heran. Ini
luarbiasa. Lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Olga ini bisa merajai hampir
seluruh stasiun televisi berbekal canda tawa naturalnya. Ya, hanya bermodalkan
itu.
Sampai kemudian, ada semacam kebosanan
menyeruak, setiap saya melihat Olga. Bukan karena lawakannya yang tak
mengundang tawa. Seingat saya, tiap kali canda tawanya membuncah, di situlah
tawa saya pecah.
Bosan ini mungkin lebih disebabkan karena
setiap saya menyalakan TV, selalu sosok Olga yang terlihat. Saya akui, saya pun
sempat sebal dengan sifatnya yang mudah menangis, juga kalimat-kalimat jenakanya
yang kadang membuat batin teriris.
#
Hingga, setelahnya, berita Olga yang diserang
sakit mulai memenuhi layar kaca. Sejak itulah, ada yang membuat saya merasa
“beda” setiap kali menonton TV. Ya, karena tak ada lagi banyolan khas Olga yang
menghiasinya.
Lalu, ada keterkejutan menyapa, ketika ia
diputuskan dipindah ke Singapura, yang lambat laun menimbulkan banyak spekulasi
dan misteri dalam benak setiap orang. Hampir semua ingin tahu, sakit apa yang
dideritanya, bagaimana kondisinya, hingga sebesar apa biaya perawatan di Negeri
Singa itu.
Tapi saya agak berbeda. Ya, saya memang penasaran tentang sakit yang menderanya, namun
kemudian saya sadar, ada yang lebih dari itu. Saya rindu. Ya, saya mulai rindu
dengan lelaki polos itu. Mulai kangen menggemakan tawa setiap kali mendengar
lawakannya. Mulai mencari-cari celetukan khas miliknya dalam diri pelucu-pelucu
lain, tapi tak pernah ada yang bisa sepertinya. Bahkan adiknya sekali pun…
Saya mulai
sedih karena ia tak ada. Saya mulai merasa kehilangannya…
#
Tak terasa, setahun berlalu. Saat di mana
semua orang tak bisa lagi menahan rindu. Spekulasi pun mulai membuahkan beragam
kemungkinan. Ada yang meyakini ia didera radang selaput otak, ada pula yang
berkata ia diserang kanker kelenjar getah bening stadium akhir. Malah ada juga
yang tega membual bahwa hidupnya telah berakhir.
Entah mana yang benar, saya tak terlalu
peduli. Yang pasti, saya ingin dia segera sembuh. Kembali ke Jakarta, dan
mendominasi layar kaca. Saya yakin, banyak orang berharap sama.
#
Petang hari, 27 Maret 2015, Tuhanlah yang
mengambil alih semuanya. Menjawab segala harap, meredakan penasaran, menyibak
tirai-tirai misteri, juga memberi keputusan tak terelakkan.
Olga
Syahputra sudah pulang. Pulang ke haribaan-Nya…
Ya, itulah ketetapan Tuhan. Saya terperanjat saat
mengetahuinya dari sebaris status dalam BBM seorang teman. Di sana ia menulis “R.I.P Olga…”, yang membuat saya
buru-buru menyalakan TV, meneliti tiap saluran, demi mengecek kebenaran kabar
itu.
Dan benar saja, di salah satu stasiun TV,
sebuah running text mengatakan bahwa
Olga telah menghembuskan napas terakhirnya, Jumat sore, di Negeri Singa.
#
Innalillahi
wa inna ilaihi rajiuun… Ada yang terulang lagi di sini. Ada sesak dada yang sama, ada
gores perih luka yang sama, ada airmata yang sama, namun ada pula sepercik
lega.
Ya, lega. Lega karena ternyata Tuhan lebih
sayang pada Olga. Terbukti, Dia mengangkat sakit yang bersemayam di tubuh Olga,
dan memanggilnya pulang.
Sehari setelahnya, jenazah Olga tiba di
Jakarta. Ribuan orang berairmata, ribuan orang berduka, ribuan orang
menyematkan barisan doa untuknya.
Rangkai kisah lain pun bermunculan, dari
keluarga, para sahabat, juga penggemar, yang semuanya berinti sama. Bahwa
seorang Olga adalah sosok penuh kasih sayang, selalu bersedia menolong siapa
pun tanpa pamrih dan beban. Tak heran, bila hingga hari ini, tempat istirahat
terakhirnya itu masih selalu dipadati banyak orang dari segala penjuru, demi
merangkai kenang dan doa jadi satu.
#
Pagi ini, saya tertawa lagi karenanya. Ya,
ada stasiun TV yang menayangkan kembali acara komedi yang jadi lebih berwarna
karena candaan khasnya. Dan baru saya sadari, ia tak terganti. Ia sanggup
menceriakan segala duka dengan kejenakaan alaminya. Dan tak ada seorang pelaku
lawak pun yang bisa sepertinya.
#
Maka, di sinilah ujung goresan kenang
tentangnya. Selamat jalan, Kak Olga. Aku yakin engkau kini lebih bahagia di
sisi-Nya…
Dan Kak Olga, ada tiga hal yang dapat
kugambarkan tentangmu.
You’re the
whole package. The one and only. The real comedian!
Terimakasih
untuk tahun-tahun yang menjadi ceria karena canda tawamu… Engkau memang telah
pergi, tapi tetap akan selalu hidup di sini. Di dalam hati…
31 Maret
2015
Adinda R.D
Kinasih
Komentar
Posting Komentar