Pada sebuah kota, langit barat
mulai kehitaman bercampur semburat jingga. Aku melihatnya dari kaca jendela
mobil yang terparkir di sebuah pelataran yang agak becek akibat hujan yang
sempat menyapa.
Pada seberang jalan raya, barisan
tiang lampu mulai memancarkan cahaya kuningnya. Sementara, roda empat, roda
dua, juga kumpulan manusia seakan berebut mengisi jalanan yang sudah padat.
Kemudian, pada sebuah jalan di
bagian lain, jadi gemerlap ketika datang gelap. Deret lampion antik
bergelantungan cantik. Kota terlihat ayu dalam hembusan sang bayu. Meski
segarnya harus rela tercampuri aroma pekat asap, sisa amukan jago merah pada
sebuah bangunan pasar yang biasanya jadi tujuan wisata utama itu semalam.
Bahkan kabarnya, bukan hanya asap, tapi pasar itu sendiri masih membara karena
jilatan jago merah itu seperti tak punya lelah menghabisinya.
Dentang jam menunjuk ke angka
sembilan. Mulai terdengar teriak perut yang keroncongan. Empat roda berputar
dengan semangat mengelilingi seantero kota demi sepiring lezat sajian, juga
segelas hangat minuman. Namun malang, para penjaja kudapan khas telah tandas.
Meski akhirnya dapat menemukan sebuah warung sederhana dengan Gudeg Jogja, satu
masakan yang tiada duanya.
#
Dan lalu, hari ini harus jadi
hari pamungkas. Mau tak mau, aku harus lekas berkemas, meski rindu belum
tuntas. Tapi sebelumnya, temui dan ambil beberapa lembar batik. Cicipi pula
segarnya es teler yang bisa sedikit mengobarkan semangat, dan semoga bisa
mengaburkan penat.
Mata terpaku pada satu arah.
Telinga juga tertuju pada satu suara. Tangan yang sejak tadi asyik menarikan
sendok, sejenak terhenti. Alunan gitar sontak timbulkan hening di warung tepi
jalan itu. Kemudian, barisan lirik tembang terdengar. Tembang yang terasa
sangat kental dengan kota ini, meski sesungguhnya penciptanya berasal dari kota
tetangga.
♪Bulan merah jambu luruh di kotamu
Kuayun sendiri langkah-langkah sepi
Menikmati angin menabur daun-daun
Mencari
gambaranmu di waktu lalu
Sisi ruang
batinku hampa rindukan pagi
Tercipta
nelangsa menembus sukma…♪
Senyum tercipta tetiba tanpa pinta. Selembar
duaribuan pun masuk ke kaleng yang teronggok di depan dua pemain gitar yang
melantunkan lagu tadi.
Usai sudah. Waktu telah habis untuk singgah.
Sedih datang seketika, langsung masuk ke hati, timbulkan sengat. Mengapa temu
dan pisah seakan tak punya sekat? Sementara rindu ini masih lekat.
Namun, meski pertemuan kita hanya sekilas,
deret kenangan akanmu terasa begitu membekas. Teduh dan riuhmu menenangkanku.
Keteraturanmu mengesankanku. Keistimewaanmu membuatku rindu.
Meski kini waktu harus menyeretku pulang,
tapi aku tahu, ia akan membawaku kembali padamu. Nanti di suatu waktu.
Salah satu papan nama jalan di daerah Ngarsopuro |
Karena sungguh, kuakui tak bisa ke lain hati.
Pada sebuah kota…
Surakarta….
29 Desember
2014
Adinda R.D
Kinasih
Komentar
Posting Komentar