Tengah
malam memuram. Mata makin menajam, belum jua ingin memejam.
Kubuka teras maya berdominasi
putih biru dengan banyak tulisan itu, menelitinya sekilas-kilas dalam lekas.
Tetiba, sepasang mataku terhenti di sebingkai potret mesra, dan seketika ia
menggurat lara.
Lalu, kejut menyambut, bersama sebaris ucapan selamat bernada
riang, yang makin buatku tercengang.
Benarkah
yang ditangkap mata ini? Kuyakinkan bahwa sepasang indera itu masih awas, masih
jelas.
Ya, berarti ini bukan dusta. Tapi entah mengapa, aku tak terlalu
percaya.
Memang,
kamu sendiri pun telah lama tak tersapa. Kalau kamu kira aku sudah bosan, sudah
enggan, kamu salah duga.
Kamu masih ada di sini, meski aku sudah jarang
menghampiri. Kamu belum hilang dari sini, meski aku tak selalu kembali.
Ketahuilah,
jika rindu menyapa sewaktu-waktu, aku datang padamu. Bukan dengan langkah kaki,
tapi lewat hati. Bukan dengan lambai tangan, tapi cukup lewat alunan.
Alunanmu
masih tetap ada di luar kepala, efek terlalu seringnya dua telingaku dihibur
olehnya. Ya, walau kuakui, kini sudah tak sering lagi aku melagukannya. Tapi,
aku sama sekali belum bosan.
Dan
setiap senyum yang kamu guratkan, masih selalu kubalas dengan harapan, bahwa
kamu akan terus seperti itu…
Sekarang,
aku makin ragu jika lembar gambar dan barisan ucapan itu adalah nyata.
Aku
tak percaya…
Aku
tahu, kamu bukan belah jiwa, tapi kamu telah menempati sebagian ruang itu.
Meski
jauhnya jarak kita tak mampu kuretakkan,
Ketahuilah,
kamu, bersama alunan dan senyuman itu belum hilang dari sini…
Dari
hati…
Untuk
Afgan, terimakasih atas barisan nada, tumpukan inspirasi, juga gulungan
motivasi yang telah tersampaikan. Sejak lima tahun lalu, aku hanya mengenal
dirimu yang itu.
Hingga kini, dan kuharap sampai nanti.
29
Oktober 2014
Wooow.. Suka, Suka, Suka..
BalasHapus