Coretan si anak magang belum
habis! Siap untuk membaca kisahnya sampai menangis? Hehehe, tidak, tidak. Saya
jamin Pembaca semua tak akan tersedu, karena di sini ceritanya makin seru!
#
Rabu, 24 September, jadi hari
pertama saya masuk di ruangan dengan beberapa kubikel ini, setelah dua hari
sebelumnya saya habiskan di Referensi. Ruangan ini disebut Layanan Keanggotaan,
atau lebih dikenal dengan lobi. Layanan ini bertugas melayani pengunjung yang
ingin menjadi anggota Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Lobi ini terletak
satu areal dengan Layanan Terbitan Berseri.
Kedatangan saya disambut ramah
oleh Bu Ellys dan Mas Hanafi. Saya pun menempati “bangku sementara” saya,
sebuah kubikel di sebelah Mas Hanafi.
Setelah itu, dua orang lainnya
datang. Ada Mbak Ida dan Pak Purwodarsono, Kepala Bidang Layanan Informasi dan
Kerjasama. Mereka juga menyapa saya. Pak Purwo, yang sudah mengenal saya
sebelumnya sempat menawari sarapan. Saya hanya berterimakasih dan menolak
halus, karena memang saya sudah sarapan.
Tak lama kemudian, wanita
berjilbab hitam masuk, sambil menenteng tas plastik hitam. “Ayo…siapa mau coba
kueku?”
Pertanyaannya langsung disambut
beberapa orang yang mengerubungi salah satu bangku di mana kue itu diletakkan.
Saya hanya melirik sekilas. Sebuah mika dengan brownies topping buah di dalamnya. Hmm….
“Wah, siapa nih yang
ulangtahun? Ulangtahun melulu, deh!” seruan lelaki berkemeja batik, dengan
kamera SLR tergantung di lehernya itu terdengar tiba-tiba. Ia ikut bergabung di
kerumunan, melongok kue yang ada di meja. Candaan lain terlontar, menimpali
ucapan lelaki yang ternyata bernama Mas Dwi, petugas di bagian Dokumentasi itu.
Saya hanya tersenyum, kembali menghadap meja dan terdiam, bersama tas di
pangkuan.
“Mbak, ini…dibagi dikit-dikit,
ya!” saya terbelalak saat sepotong brownies mendarat mulus di meja saya
beralaskan kertas. Buru-buru saya mengucap terimakasih pada Mbak Ida, yang
memberikan kue lezat itu. Wah, hari ini saya mendapatkan sarapan tambahan,
sepotong brownies dengan rasa unik, perpaduan manis pahit cokelat, lembut krim
vanilla, serta asam manis jeruk dan kiwi.
#
Setelah itu, saya mulai
mengerjakan tugas pertama, menghitung jumlah bahan pustaka majalah dan tabloid
yang masuk ke Perpustakaan Proklamator Bung Karno sepanjang tahun 2014. Dalam
waktu kurang dari setengah jam, selesailah tugas saya. Kemudian, saya tak
mengerjakan apa pun, karena memang belum ada pekerjaan lain yang harus saya
kerjakan. Saya membisu sambil sesekali mengamati Mas Hanafi yang sibuk
mengetik.
Seusai mengetik, ia mengajak
saya berbincang. Ternyata, lelaki asal Yogyakarta ini adalah suami Mbak Amy,
petugas di bagian Pengolahan. Kami saling bercerita banyak hal, seputar
perpustakaan, musik, buku, bahkan keluarga. Saya juga menceritakan penyebab
keadaan kaki saya.
Mas Hanafi juga berkisah, bahwa
dulu ia adalah seorang pendiam yang selalu minder saat bertemu orang baru.
Itulah sebabnya, ia enggan menjadi guru seperti permintaan ayahnya. Dia justru
mengambil jurusan Perpustakaan di UIN Yogyakarta. Namun ternyata, sifat pendiam
dan mindernya harus tetap dihilangkan, saat ia sempat menjadi tenaga Marketing
di Jakarta selama dua tahun.
Beberapa saat kemudian, dialog
kami diusaikan oleh kedatangan pengunjung yang ingin mengganti kantong
kartunya. Saya membantu mengisikan data pengunjung itu ke kantong yang baru.
#
Tibalah waktu istirahat. Kali
ini agak berbeda. Jika biasanya saya menuju Ruang Akuisisi untuk makan siang dan
ke mushala bersama Bu Nurny, siang ini saya mendapat nasi kotak. Rupanya, ada
salah satu pegawai yang sedang syukuran dan membagi-bagikan nasi kotak pada
semua petugas, termasuk saya. Terpaksa, bekal yang saya bawa dari rumah tadi
harus rela tak termakan. Setelah makan, saya menunaikan Dhuhur di bagian dalam
lobi, atas saran Bu Ellys.
Setelah shalat, saya kembali ke
“kubikel sementara” saya. Masih sama, tak banyak pekerjaan yang saya lakukan.
Hanya ada dua pengunjung yang datang untuk mengganti kantong kartu, dan
mendaftar menjadi anggota baru.
Jam dua siang, Pak Purwo, Bu
Ellys, dan Mbak Ida menuju ruang rapat. Tinggallah saya bersama Mas Hanafi.
Karena tetap belum ada pekerjaan lagi untuk saya, Mas Hanafi membolehkan saya
membuka laptop. Saya menyempatkan diri menengok Facebook dan Blog saya dengan
jaringan wifi di lobi.
Beberapa menit kemudian,
buru-buru saya log out dari Facebook,
karena belakangan saya tahu, membuka jejaring sosial pada jam kerja itu
dilarang. Maaf ya, Bu Ellys…
#
Hari ini ada yang tak sama. Mas
Hanafi ada tugas keluar kota. Jadilah pagi ini saya diam lagi, padahal sehari
sebelumnya pasti saya sudah banyak bertukar cerita dengan Mas Hanafi. Saya pun
menyibukkan diri dengan buku tulis dan pulpen, sekadar menulis rancangan untuk
coretan ini, hehehe…
Pukul delapan tepat, Mas Hanafi
datang dengan ransel berat di punggungnya. Ternyata ia dan beberapa orang lain
yang mendapat tugas serupa, baru akan berangkat siang nanti. Kali ini kami tak
bisa mengobrol banyak lagi, karena lelaki tigapuluh tahun itu sibuk mengurus
kelengkapan surat yang akan dibawa keluar kota.
Sekitar jam sebelas, sekelompok
orang yang bertugas keluar kota itu mulai bersiap. Termasuk Mas Hanafi dan Pak
Purwo.
#
Setelah mereka berangkat, saya
mulai menggarap tugas lainnya, yaitu memberi stempel pada kantong-kantong kartu
yang baru jadi. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 150 lembar kartu! Saya
mengerjakannya, hingga tiba waktu istirahat. Saya pun rehat sejenak sambil
melahap bekal saya. Rasanya sepi sekali makan siang hari ini, karena biasanya
saya selalu makan siang sembari ngobrol dengan Bu Nurny di Ruang Akuisisi, atau
bertukar kisah dengan Mas Hanafi seperti kemarin. Tapi hari ini, dua orang itu
sama-sama ditugaskan keluar kota.
#
Setelah mengosongkan kotak
bekal, saya shalat Dhuhur, masih di bagian dalam lobi. Baru saja saya
menyelesaikan doa dan melipat mukena, terdengar suara Mbak Ida dan Mas Dwi,
yang baru datang dari suatu urusan. Saya pun kembali ke meja saya.
Tanpa saya duga, Bu Ellys
menyodorkan plastik mika sedang berisi siomay dan tahu goreng, lengkap dengan
saus kacang dan sambalnya. Saya sudah menolak, tapi beliau tetap meletakkan
makanan khas Jawa Barat itu di meja saya. Akhirnya, saya pun melahap salah satu
makanan favorit saya itu. Ah…jika kemarin saya mendapat sarapan dan makan siang
tambahan, hari ini saya kembali mendapatkannya. Terimakasih banyak, Bu Ellys…
Siomay pun tandas, bersamaan
dengan sebotol air putih yang saya bawa dari rumah tadi. Saya pun kembali
melanjutkan pemberian stempel pada kantong-kantong kartu yang masih tersisa.
Syukurlah, pekerjaan itu bisa saya bereskan tepat jam setengah tiga.
#
Jumat ini, semestinya saya
berpindah ke layanan lain. Tapi, atas saran Bu Ellys, saya baru akan pindah
pada Senin esok. Jadilah hari ini saya kembali ke lobi. Setiap hari Jumat, para
petugas perpustakaan melakukan senam di halaman. Untuk mengisi kekosongan, saya
membuka laptop dan melanjutkan coretan ini.
#
Musik pengiring senam telah
berakhir beberapa menit yang lalu. Saya menoleh pada Bu Ellys yang masuk lewat
pintu belakang lobi, sambil membawa dua gelas kolak kacang hijau.
“Ini, Mbak, diminum ya!” begitu
ucap beliau, seiring gelas plastik yang sudah berpindah ke meja saya. Saya tak
bisa menolak lagi, dan akhirnya menikmati kolak kacang hijau bercampur ketela
itu dengan sedikit sungkan. Aduh…sejak hari pertama di sini saya selalu diberi
makanan. Terimakasih banyak, semuanya…
#
Hingga jam sebelas, pekerjaan
untuk saya masih belum ada. Seperti biasa, waktu istirahat berdurasi dua jam di
hari Jumat. Mbak Ida menyarankan saya menghabiskan waktu istirahat di ruang
Layanan Anak Remaja, karena semua petugas Keanggotaan akan keluar kantor. Saya
pun setuju dengan usul wanita berambut panjang itu.
Dalam langkah menuju ruang
Layanan Anak Remaja, saya sempat berhenti dan berbincang sebentar dengan Pak
Narto, salah satu satpam perpustakaan. Kemudian, saya meneruskan perjalanan ke
ruangan berkarpet biru itu.
Sampai di sana, hanya ada Bu
Min dan Bu Jerniati, yang sedang melepas lelah. Saya segera minta ijin untuk
melahap bekal dan shalat Dhuhur di “surge kedua” saya itu. Beliau berdua
membolehkan.
Setelah shalat, saya sempatkan
membaca novel. Yaa…seperti biasa. Tanpa terasa, jam telah menunjuk angka satu
lebih limabelas. Buru-buru saya rapikan semuanya, dan minta diri untuk kembali
ke lobi.
#
Napas lega terhembus saat
langkah saya mencapai lobi. Sudah ada Bu Ellys yang cukup sibuk di sana. Ah,
rupanya sedang banyak pengunjung yang ingin mendaftar menjadi anggota. Saya
segera meminta maaf atas keterlambatan saya, dan membantu Bu Ellys mengisikan
data para calon anggota perpustakaan pada kantong kartu.
Eh, tiba-tiba pandangan saya
tertuju pada gadis kecil yang melangkah mengikuti Bu Ellys. Lucu sekali dia,
berbaju merah dengan pipi tembem dan rambut berkuncir dua. Tatapannya tertuju
pada kaki saya, agak lama.
“Halo, Adek… namanya siapa?”
dalam senyuman saya menyapanya. Tadinya, anak perempuan itu hanya terdiam
sambil terus menatap saya.
“Eh, ditanya Tante tuh…” ucap
Bu Ellys. Hingga akhirnya terdengar jawab lirih dari bibir mungil itu.
“Mila…”
Saya pun tersenyum lagi. “Wah,
Mila cantik ya. Kelas berapa nih?”
“Kelas lima.”
Saya agak terbelalak
mendengarnya. Otomatis saya menoleh pada Bu Ellys yang tersenyum geli.
“Masih playgroup, Tante…”
Saya pun ikut tertawa kecil,
kemudian kembali ke meja saya, meski belum ada pekerjaan lagi. Beberapa kali
saya dengar rengekan Mila yang meminta ini itu pada bundanya. Saya tahu, jika
Bu Ellys masih cukup sibuk, karena memang siang itu hanya ada Bu Ellys dan saya
di lobi.
Saya pun mendekati Mila yang
asyik memainkan penggaris di meja bundanya.
“Eh, Mila…ini jamnya Mila ya?”
tanya saya sambil menunjuk jam tangan Angry Birds merah di meja. Gadis lucu itu
hanya mengangguk.
“Buat aku, boleh?” goda saya
kemudian. Kali ini Mila menggeleng. Saya tertawa pelan. “Oh ya, ini jamnya
warna apa sih? Sama kayak bajunya Mila ya…”
“Pink,”
bibir
mungil itu melontarkan jawaban singkat. Saya tersenyum.
“Ini bukan pink, Sayang. Yang warnanya pink
itu pensil ini,” ujar saya sambil menunjukkan pensil berwarna merah muda
padanya. “Kalau baju Mila itu warnanya merah…”
Mata Mila membulat jenaka. Saya
melebarkan senyum, lalu mengulang. “Warna apa, Sayang? Me…”
“Rah…” lanjutnya pelan. Saya
lagi-lagi tersenyum mendengarnya. Sesaat kemudian, beberapa petugas dari bagian
layanan lainnya berdatangan ke lobi dan mengajak gadis imut itu berceloteh.
Tapi Mila tak terlalu menanggapinya.
Jam tiga, Mbak Ida datang. Saya
pun pamit pulang. Sebenarnya saya ingin mengajak Mila foto bareng, tapi dia
enggan. Saya bisa mengerti, mungkin si kecil itu sedang bad mood. Padahal sebenarnya saya ingin sekali berfoto bersamanya.
Semoga suatu hari saya bisa bertemu Mila lagi.
#
Inilah akhir coretan sederhana
saya tentang Layanan Keanggotaan. Tak ada kata yang paling tepat terucap,
selain rasa terimakasih yang besar untuk Anda semua.
Pak Purwo, terimakasih
atas sapa ramah yang Anda berikan. Mas Hanafi, terimakasih untuk rangkum kisah
yang tertuang selama sehari kemarin. Bu Ellys, terimakasih untuk segala
bimbingan selama tiga hari ini. Mbak Ida, juga Mas Dwi, terimakasih atas
candaan segar yang selalu berhasil menguarkan tawa saya.
Oh, ya, terimakasih
juga atas sepotong brownies, sepaket nasi kotak, seporsi siomay, dan segelas
kolak kacang hijaunya.
Mohon maaf atas segala
kesalahan saya selama berada di Keanggotaan. Maaf juga jika saya banyak
merepotkan. Anda semua menjadi sebuah keluarga baru juga untuk saya.
Bu Ellys, salam untuk Mila ya.
Semoga kapan-kapan saya bisa berfoto bersamanya…
26
September 2014
Adinda
R. D Kinasih
Komentar
Posting Komentar