Eyang Kakung di rumahku, 2010 |
Ini dini hari di tiga
April. Di mana segala cemas dan kecamuk itu seketika berubah mengelabu,
berhujan, dan menggelap perlahan...
©
Rabu malam, pukul
sebelas. Ayah baru saja tiba di rumah, sepulangnya beliau dari Malang untuk
sebuah urusan bersama beberapa teman. Keletihan tergambar jelas di raut beliau.
Baru saja beliau akan meraih handuk dan membawanya ke kamar mandi, ponsel lawas
miliknya berdering. Ayah menjawab telepon itu, dan wajah lelah Ayah tergantikan
dengan mimik cemas. Aku, Mama,
dan Adik yang memperhatikannya juga jadi ikut khawatir dan penasaran, telepon
dari siapakah gerangan?
Beberapa menit
kemudian, telepon berakhir. Rupanya tadi dari Nenekku-istri baru Eyang Kakung tepatnya,
setelah ditinggal Ti Ning* untuk selamanya pada 2000 silam.
Nenek mengabarkan,
bahwa kondisi Eyang Kakung kritis. Ya, Eyang Kakung memang sakit sejak tiga
tahun terakhir. Mendengar itu, Ayah langsung mengontak pamanku yang tinggal di daerah Wlingi, dan mereka pun
sepakat menuju Malang malam itu juga.
Namun akhirnya, paman
memutuskan berangkat lebih dulu dengan motornya. Sementara Ayah masih di rumah,
terlelap sebentar, demi memulihkan tenaga. Dan akhirnya, saat angka sebelas
merapat, Ayah pun berangkat bersama Mama,
juga dengan motor.
©
Aku tak bisa memejamkan
mata barang sedetik pun. Entahlah,
perasaanku tak tenang sejak kabar tentang Eyang Kakung sampai di telinga
kami tadi. Setelah mengerjakan empat rakaat Isya' dan tadarus
sebentar, kurebahkan lagi tubuh lelahku di kasur, tapi tetap, sama sekali tak
terpejam. Hingga masuk dini hari, mataku justru
makin lebar saja.
Hingga kemudian, dering
ponsel memecah senyap. Saat itu sudah jam
setengah satu. Aku agak kaget, ternyata dari Tante Ririn, bukan Ayah atau Mama seperti yang kuduga.
"Dinda, di mana
sekarang?" suara
itu serak, lirih, hampir tak terdengar.
"Oh, aku di rumah,
Tante. Cuma Ayah dan Mama aja yang ke Malang."
Percakapan terhenti
sejenak. Aku diam dalam rasa penasaran. Ada apa sebenarnya?
"Din...Kung sudah
nggak ada, Din..."
Suara lirih
Tante seperti gemuruh yang mengejutkan di malam sunyi itu. Aku
tercekat. Ini tidak mungkin! Ini pasti mimpi! Kemudian, kesadaranku seperti
dipaksa pulih, seiring ucap istirja' terbata-bata. Aku terisak, dan mulai
tersedu ketika dialog pendek itu benar-benar usai.
Tangisku seperti lagu
kejutan di dini hari yang sepi. Beribu kenangan seperti nyata di
hadapan...Eyang Kakung, benarkah engkau sudah bertemu denganNya kini?
©
Masih terlukis jelas di
memoriku, penghujung Maret ini, baru saja, aku memasuki kamar sederhana itu
pada larut malam. Di atas dipan, tubuh kurusmu tergolek tanpa daya. Aku miris,
sungguh... Dan ketika kudekati, tatapmu penuh kejut, rindu, sedih, dan sayu.
Itu berpadu satu. Dan entah, ada makna lain yang tersirat dari sepasang mata
tua itu, yang kuterjemahkan sebagai sebuah "pamit" yang tak
terkatakan. Saat itu aku berharap aku salah. Tapi ternyata...
©
Terseok aku menuju
kamar Adik. Dan gadis yang masih larut dalam kantuk itu terhenyak seketika,
saat kusampaikan kabar pilu itu.
Aku kembali ke
kamar, yang kini seperti ikut berairmata. Kutelepon Mama, dan ternyata beliau
sudah tiba di Malang. Suara beliau mirip Tante, serak dan lirih. Segera kugagas
ideku untuk memesan travel paling pagi, demi mencapai Malang secepat mungkin.
Untunglah Mama mengiyakan.
Sejenak
kuhentikan tangisku, meski sedih itu baru dimulai. Kutelepon biro perjalanan
langgananku, tepat pukul dua, demi
reservasi tumpangan pada jam lima pagi nanti. Untung saja ada dua tempat
tersisa.
Segera aku
"berdemo" untuk membangunkan Adik, dan menyiapkan bekal sekadarnya.
Beberapa potong baju, dua botol air putih, juga lima potong roti busa. Biarlah,
itu saja...
©
Jam empat
kurang lima kini. Segera aku dan Adik ke rumah Eyang Putri (dari Mama), yang
tinggal tak jauh dari rumahku. Beliau sudah terjaga, namun masih di kamar.
Pelan-pelan kudekati beliau, dan keheranan langsung menyergapnya. Beliau
menanyaiku, mau ke mana sepagi ini. Dan setelah kujelaskan pelan-pelan, wanita
berusia lanjut itu terperanjat mendengarnya. Matanya berkaca-kaca. Aku dan Adik
hanya bisa diam melihatnya. Ada sesak terasa lagi di dadaku.
Setelah
berpamitan pada Eyang Putri, segera kami berdiri di depan pagar rumah, menanti
datangnya minibus dari travel itu. Rasanya aneh, berdiri di tepi jalan, dengan kostum dominasi
putih. Jalanan juga masih sangat sepi.
Letih juga,
menanti minibus itu, padahal sekarang sudah hampir setengah lima. Ah, kenapa
mereka gemar mengulur-ulur waktu seperti ini? Tapi, syukurlah, akhirnya minibus
abu-abu itu menepi di hadapan kami tak lama kemudian. Rupanya, penumpang hari
ini sedang penuh. Jadilah, aku harus rela “terpisah” dengan Adik. Aku di jok
paling depan, dan Adik di jok paling belakang.
Masya Allah,
dinginnya pagi ini, ditambah AC mobil yang terus menyala sepanjang perjalanan,
membuat seluruh tubuhku seperti membeku. Kedua tanganku juga sudah sedingin es.
Kutolehkan kepala ke belakang sekilas, Adik makin merapatkan jaket abu-abunya,
lalu terpejam. Syukurlah, semoga dia bisa nyenyak, meski sejenak.
©
Aku masih tak
merasakan kantuk. Alhasil, aku hanya bisa diam, larut dalam pikiran dan sedih
yang masih menumpuk. Pandanganku jauh pada langit kelabu yang bercampur
semburat oranye. Subhanallaah, indah sekali. Tapi, bibirku enggan melengkung,
ia masih terkatup rapat, layaknya semalam. Pak supir berhenti sejenak di sebuah
mushala untuk menunaikan Subuh, begitu pun Adik dan beberapa penumpang lainnya.
Aku tetap di tempatku karena sedang berhalangan.
Beberapa saat
kemudian, perjalanan kembali diteruskan. Aku masih sama, diam, diam, dan diam.
Ada setitik rasa tak percaya, benarkah Eyang Kakung telah pulang ke
haribaan-Nya? Kupejamkan mata sebentar, dan beragam kenangan seperti terputar
lagi dalam gelap. Masa kecilku bersamanya, tawa itu, senyum itu, peluk hangat
itu, sapa ramah itu, nasihat-nasihat bijak itu... Benarkah aku harus kehilangan
semuanya sekarang?
©
Jam tujuh merapat, dari kejauhan Malang pun mulai
terlihat. Lalu lintas memadat. Ya, ini Kamis, masih hari kerja dan sekolah bagi
sebagian besar orang. Adik terpaksa absen hari ini. Biar nanti Mama yang
memintakan ijin pada gurunya.
Tempat duduk melonggar, karena sudah ada dua penumpang
yang turun di Kepanjen. Adik kini pindah di jok belakangku. Dia sudah
sepenuhnya terjaga. Ini Malang yang masih kusayang. Tapi kali ini, ada rona
berbeda saat bertemu lagi dengannya. Ada suara samar dari kalbuku yang lirih
kudengar.
Eyang Kakung, tahukah, bahwa
ini adalah kali ketiga dalam bulan ini kutemui Malangku? Sendirian, Eyang! Dan
aku bangga karena aku bisa. Inginnya kuceritakan semua padamu, tentang aku yang
berangsur mandiri kini. Tapi, Eyang, benarkah di kunjungan yang ketiga kali ini
harus karena itu? Karena kepulanganmu ke rumah-Nya? Bahkan sebelum kisah itu
sempat kusampaikan?
©
Jam delapan kurang sedikit, travel itu akhirnya berhenti
di tepi jalan. Kulayangkan pandang pada mulut sebuah gang kecil yang sudah
dipasangi bendera putih. Sesaat aku tertegun. Ya, itu gang rumah Eyang Kakung.
Setelah keluar mobil dan membayar, kami menyeberangi jalanan yang dipenuhi
kendaraan bermotor. Untung saja tak terlalu memakan waktu lama.
Kulangkahkan kaki memasuki gang. Baru tiga langkah saja,
sudah terlihat ada yang berbeda di depan rumah yang rutin kami kunjungi dua
minggu sekali itu. Beberapa lelaki sudah duduk di kursi plastik yang berjejer
di pinggir. Beberapa lelaki lain tampak sibuk membersihkan keranda. Dua dari
mereka segera kukenali sebagai pamanku. Om Bagus, adik Ayah, dan Om Deddy,
suami Tante Ririn. Kuhampiri Om Bagus. Lelaki tigapuluh tahunan itu terlihat
sangat lelah. Ia tersenyum sedih padaku. Melihatnya seperti itu, membuatku makin
sedih dan ingin menangis.
Om Deddy
segera mengajak aku dan Adik masuk. Di rumah yang tak terlalu besar itu, juga
sudah banyak yang berkumpul. Sejumlah bapak nampak bahu membahu mengkafani
Eyang Kakung. Ada Ayah pula di sana. Wajah Ayah identik dengan Om Bagus tadi.
Lelah dan sedih. Kuhampiri Mama yang duduk bersebelahan dengan Tante Ririn.
Kusalami beliau berdua, diikuti Adik. Tak lama kemudian, Nenek juga
mendekatiku, memelukku.
Setelah duduk
sejenak, salah satu dari bapak yang mengkafani Eyang Kakung tadi mempersilakan
kami untuk mendekati jenazah. Aku melangkah pelan, dan bersimpuh di depan tubuh
renta yang telah kaku itu. Sekilas kulihat Ayah, beliau tampak semakin sedih.
Kualihkan pandangan pada wajah Eyang Kakung, dan seketika airmata sudah berebut
keluar. Tapi aku sanggup menahannya. Kutundukkan kepala, kutengadahkan tangan,
dan mulai mengucap barisan doa-doa.
Kurasa sudah
cukup. Sebelum beranjak, kutatap sekali lagi wajah Eyang Kakung, dan airmata
ini seperti makin tak sabar untuk meluap. Aku dan Adik segera kembali ke sudut
ruangan, duduk menekuk lutut, dan....mulai tersedu. Teringat kata-kata Ayah,
bahwa aku dan Adik adalah cucu kesayangan Eyang Kakung. Eyang, terimakasih
karena telah sangat menyayangi kami. Maafkan segala kesalahan kami, Eyang.
Maafkan, jika kami belum bisa membahagiakanmu....
©
Jenazah Eyang Kakung telah ditempatkan di keranda yang
tertutupi kain hijau dengan rangkaian bunga. Shalat jenazah akan segera
dimulai. Para lelaki segera membentuk shaf, dengan seorang bapak tua sebagai
imam. Tapi, Ayah tak terlihat dalam barisan. Ternyata Ayah sedang bingung
mencari baju ganti. Beliau tak sempat membawa pakaian ganti, karena
tergesa-gesa menuju ke sini dini hari tadi. Aku dan Adik juga tak terpikir
untuk membawakan baju ganti Ayah.
Semua jamaah shalat masih menunggu Ayah yang berada di
kamar mandi. Nenek segera mengambilkan sarung dan sebuah kemeja batik ungu,
milik Eyang Kakung. Dan ketika Adik
menyerahkannya pada Ayah, wajah beliau pias. Sedih. Usai berganti baju, Ayah
segera menggabungkan diri dalam jamaah, dan shalat jenazah pun dimulai.
Beberapa saat seisi ruangan menjadi hening. Hanya bacaan-bacaan shalat yang
terdengar.
Kupandangi
Ayah yang khusyuk mengerjakan shalat. Ya Allah, sekarang Ayah tidak punya
orangtua lagi...
©
Jenazah pun siap diberangkatkan menuju pemakaman.
Beberapa lelaki, termasuk Ayah, Om Bagus, dan Om Deddy ikut mengantar jenazah
Eyang Kakung. Mama dan Adik juga ikut. Aku tidak ikut, hanya melepas jenazah
Eyang dari teras rumah. Kabarnya, Eyang Kakung akan dikuburkan tepat di sebelah
makam Ti Ning*.
Kemudian, tamu-tamu pun berdatangan, bersama aneka bawaan
mereka. Beberapa makanan terhidang di depanku, pisang goreng, permen, wafer,
dan bergelas-gelas air mineral. Perutku yang sudah keroncongan berorasi meminta
jatahnya. Tapi aku enggan mencicipi, meski ibu-ibu di sampingku terus menawari.
Aku tak tega. Baru saja Eyang Kakung berangkat ke tempat peristirahatan
terakhirnya, masa aku di sini enak-enakan makan. Hingga semua orang pulang dari
pemakaman, aku belum makan apa pun.
Lalu, sepaket nasi beserta segala macam lauknya menyusul
ditata di karpet. Beberapa orang ada yang mulai melahap sarapan mereka. Ibu
juga menyuruhku makan. Tadinya aku tak mau, tapi belakangan kuterima juga
piringku. Ternyata beginilah tradisi pemakaman di Malang.
©
Semakin siang, tamu yang berdatangan semakin banyak. Ada
rombongan saudara, tetangga, juga teman-teman kantor Tante Ririn dan Om Deddy.
Tak ketinggalan teman-teman sekolah Ayah dan Om Bagus. Kedatangan mereka bisa
sedikit memupus kesedihan kakak beradik itu.
©
Jam dua siang, aku sudah berdiri di mulut gang. Menanti
travel yang kupesan sejam lalu untuk mengantarku pulang. Siang ini, aku kembali
ke Blitar bersama Adik. Sementara Ayah dan Mama akan pulang malam nanti seusai
tahlilan.
Ternyata travel molor. Ia baru tiba pada 15.20. Untung
saja tadi Adik sempat membeli beberapa makanan ringan untuk bekal di jalan.
Mama melepas kami dengan senyuman. Ternyata, saat travel yang kutumpangi
berangkat, Eyang Putri datang bersama beberapa saudara dari Blitar.
©
Rumah tersenyum mendapati kami memasukinya pada pukul
setengah enam. Kami segera membersihkan diri, juga melepas lelah. Mungkin, dua
hari lagi kami akan kembali ke Malang untuk mengikuti tahlilan.
©
Rihlah
Saidah, Eyang Kakung. Selamat jalan.
Semoga engkau mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Tahukah engkau, bahwa ada
sepercik kelegaan di hatiku? Karena engkau telah bertemu dengan Ti Ning* di
sana. Semoga jalanmu dilancarkan, Eyang. Maafkan segala kesalahan kami....
Kami akan
selalu merindukanmu....
Malang, 3 April 2014
Adinda Dara
*Ti Ning: Panggilan
kesayangan kami untuk almarhumah Eyang Putri yang wafat pada 2000 silam.
Eyang Kakung & Ti Ning, sekitar 1993 |
Aku, Almira, dan Eyang Kakung saat makan bareng, sekitar 2011 |
Dinda, tulisannya bagus. terus berkarya ya dinda
BalasHapusSemua pasti bangga dengan prestasi Dinda...
Terimakasih apresiasinya :)
BalasHapus