Kinara
♪Sabar, sabarlah cintaku...
Hanya sementara kau harus
dengannya
Kau harus bersamanya, kini...♪
Segera kutekan tombol hijau tanpa melihat nama yang
tertulis di layar ponsel, demi menghentikan suara Afgan yang memberitahuku
bahwa ada telepon masuk. Huah, siapa pula yang membuat Afgan bernyanyi sepagi
ini, bahkan saat aku baru membuka mata?
“Haloo...” sapaku dengan suara serak, khas orang
bangun tidur.
“Halo! Woy Ra! Jam berapa nih? Lu masih merem?!”
Aku terlonjak mendengar sapa dan tanya nyaring itu.
Kuhela napas panjang sebelum menjawab, sambil kutengok jam weker. Aduh, baru
jam lima lebih limabelas.
“Apaan sih kamu, Arya... Baru juga jam segini! Ada
apa?” tanyaku malas.
“Waah! Gila aja lu! Ini udah siang, Non! Buruan
mandi, terus ke sekolah ya! Sarapan di sekolah aja, gue traktir! Gue mau
curhat!”
“Yaaaelah...kamu gangguin aku pagi-pagi cuma mau
nyuruh cepet-cepet ke sekolah, demi dengerin cerita kamu lagi? Ogah ah, bosan!”
elakku. Namun, suara penuh nada memohon di seberang sana kembali meluluhkan
hatiku.
©
Andai saja kamu tahu, sudah
lama aku menahan rasa ini...
Kuayunkan langkah menuju kantin, usai memarkirkan
sepeda. Di meja paling ujung, tampak senyumnya menyambutku. Kubalas sekilas,
seraya duduk di hadapannya.
“Jadi ada apa lagi? Siapa lagi yang berhasil
menaklukkan hati seorang Arya Mayundra?” tanyaku dijawabnya dengan tawa yang
panjang.
“Bisaa aja lu, Ra! Nih, sambil makan! Udah gue
pesenin, favorit lu!” ujarnya sambil menyodorkan nampan dengan sepiring nasi
goreng kentang balado dan secangkir cokelat panas di atasnya. Aku tersenyum
kecil. Mulai kulahap makanan kegemaranku itu, sambil memasang telinga untuk
ceritanya yang sebenarnya sudah sangat bosan kudengar. Tiara, Rani, Putri,
Bella, dan entah siapa lagi nama yang selalu disebutnya dalam tiap kisah.
Jujur, aku enggan, bosan, bahkan mulai muak mendengar semua itu, namun aku tak
punya daya untuk menolak setiap ia memintaku menjadi pendengar atas semua
cerita monotonnya. Ah, Arya, andai saja kamu bisa membaca hatiku...
“Jadi gimana, Ra? Gue beneran jatuh cinta sama dia!”
pertanyaan Arya membuyarkan semua lamunanku.
“Haah? Apa? Oh, jatuh cinta, ya? Sama siapa?” tanyaku
gelagapan. Arya memelototiku sejenak.
“Yeee! Jadi dari tadi lu nggak dengerin gue ngomong?
Payaaah!” keluhnya. Segera kuubah raut wajahku menjadi raut penuh penyesalan.
Arya menarik napas panjang sebelum mengulang ceritanya lagi.
“Jadi gini, Aisha Kinara. Lu tahu murid baru pindahan
dari Bandung itu, kan? Yang sekelas sama lu itu! Nah, gue jatuh cinta sama dia!”
aku yang sedang meneguk cokelat panas langsung tersedak. Arya terkejut.
“Eh, eh! Tenang, Ra! Minumnya pelan-pelan aja dong!”
serunya sambil menyodorkan selembar tisu padaku. Aku segera membersihkan seragamku
yang terkena tumpahan cokelat dalam diam.
Ah, Arya. Jadi hatimu telah
kamu tambatkan padanya? Gadis cantik berambut panjang yang cerdas itu? Sheila
Dewinta? Tahukah, bahwa gadis itu juga bertanya padaku tentang kamu kemarin.
Ya, dan dari binar matanya aku tahu, dia menyukaimu! Lalu aku? Aku hanya
tinggal Kinara, sahabatmu saja. Karena aku tahu, kamu takkan pernah melihatku
lebih dari ini...
©
Pulang sekolah. Dengan tak bersemangat, kulangkahkan
kaki menuju parkiran untuk menjemput sepedaku. Sempat kulihat sekilas pada
barisan motor, matic biru yang setia menemaninya itu sudah tak berada di
tempatnya. Dari kejauhan, mataku menangkap sosok berwajah ceria, bersiap pergi
dengan matic birunya, sesaat setelah gadis ayu berambut panjang itu naik
di boncengan. Ya, dia Sheila Dewinta! Entah kini hatiku berubah jadi apa. Yang
pasti, ada airmata jatuh satu-satu mengaliri wajahku. Airmata yang untuk
kesekian kalinya kujatuhkan untuknya. Hanya untuk Arya Mayundra.
©
♪Sabar, sabarlah cintaku
Hanya sementara kau harus
dengannya
Kau harus bersamanya, kini...
Sabar, sabarlah cintaku...
Takkan selamanya
Karena sebenarnya, kau tahu
sesungguhnya aku...
Aku yang paling kau cinta,
aku yang paling kau mau
Rahasiakan aku,
sedalam-dalamnya cintamu
Aku yang pasti kau cinta, aku
yang pasti kau mau
Selamanya, di hidupmu, aku
kekasihmu...♪
Alunan Sabar mengalun dari CD player di
kamarku, menemani soreku yang sepi. Seminggu berlalu sejak cerita Arya tentang
siswi baru itu. Sejak itu pula, aku tak lagi sedekat dulu dengannya. Aku masih
ingat, dulu setiap sore, sahabatku sejak SMP itu selalu mengunjungi rumahku, untuk
belajar bersama, atau sekedar ngobrol sambil mendengarkan lagu-lagu. Ya, kami
sama-sama hobi mendengarkan lagu, meski jenis musik yang kami sukai berbeda.
Aku lebih bersahabat pada pop mellow, sementara Arya lebih suka rock dan
R’nB. Namun, sejak masuk SMA, Arya seperti berganti rupa. Lebih suka
berkisah tentang gadis-gadis pujaannya, daripada menghabiskan sore dengan
ribuan lagu bersamaku.
Tak sengaja, mataku tertumbuk pada dua digit angka
yang kuberi tanda lingkaran merah di kalender. Ah, ya! Lusa itu ulangtahun Arya
yang ketujuhbelas! Sesaat aku dibingungkan dengan hadiah apa yang akan kuberi
padanya di hari istimewanya itu. Pasti gadis-gadis yang memujanya di luar sana
sudah punya beragam barang mahal untuk dibingkiskan pada Arya. Lalu aku? Apalah
arti kado dari seorang Kinara? Yang hanya seorang sahabat, yang kini tak punya
arti apa-apa di matanya?
Tapi, aku harus tetap memberinya hadiah! Tak peduli,
apakah dia nanti berkenan menerimanya atau tidak. Tapi apa yang bisa kuberikan
padanya?
Seketika, wajahku berseri, saat kutatap kaset CD
terbaru Afgan yang tergeletak di mejaku. Buru-buru kuhampiri CD player, kutekan
tombol off, dan kukeluarkan sekeping kaset itu dari sana. Aku tersenyum
lebar saat memasukkan kepingan kaset itu ke tempatnya. Ya, Arya! Aku akan
memberimu ini!
©
Arya
Ini sore. Di hari kesepuluh bulan lima ini
usiaku berubah tujuhbelas. Banyak hadiah yang sampai di tanganku siang tadi.
Sebagian sudah kubuka. Isinya beragam. Ada topi, jaket, kaos, jam tangan,
bahkan CD band rock favoritku. Semua barang terlihat mewah dan mahal,
dengan kertas pembungkus yang bagus-bagus. Namun, aku terpaku pada sebentuk
kecil persegi bersampul kertas coklat. Sederhana sekali, sangat kontras jika
dibandingkan kertas kado lainnya yang berwarna-warni. Kubolak-balik benda itu
dengan heran. Tak ada tulisan apa pun di permukaannya. Dengan penasaran, kubuka
pembungkusnya pelan.
“Hah? Album Afgan?” aku terperanjat. Hampir semua
orang tahu, bahwa seorang Arya Mayundra bukan penggemar aliran musik pop
mellow! Lalu siapa yang berani memberikan ini?
Aku tertegun saat kulihat sebuah lipatan kertas biru
terjatuh saat aku membolak-balik kaset Afgan itu. Kuambil dan kubuka. Aku
terbelalak. Di hadapanku terbaca jelas torehan tulisan rapi yang sudah lama tak
kutemui.
Arya
Mayundra,
Selamat
ulangtahun yang ke-17. Mungkin kamu kaget, saat menemukan benda sederhana yang
terhimpit di tumpukan kado-kado mahal lain yang terbingkiskan buatmu. Itu dari
aku, sahabatmu sejak SMP. Masihkah kamu ingat aku? Ya, aku, yang kini selalu
sendiri menghabiskan sore, tidak lagi dengan tumpukan buku, obrolan seru, atau
ribuan lagu yang dulu sering kita dengar bersama. Entah itu lagu rock
favoritmu, atau pop mellow kesukaanku. Tapi, ya, aku tahu, kini kamu terlalu
sibuk untuk melakukan itu semua, bahkan untuk sekadar menyapaku saja kamu tak
sempat.
Arya,
mungkin aku terlalu lancang untuk bisa mengatakan ini. Tapi, bisakah sedikit
saja kamu buka matamu, lihat aku dari sisi yang lain, lihat aku sebagai Kinara
yang lain, bukan sebagai sahabatmu?
Ah, ya,
mungkin kamu kebingungan dengan penjabaranku.
Baiklah,
coba setel kaset milikku itu. Dengarkan saja track empat, resapi apa yang
dinyanyikan Afgan dalam lagu itu, dan kamu akan mengerti segalanya.
Selamat
ulangtahun....
Aisha Kinara
Aku tercenung. Barisan kata-kata dalam kertas tadi
seakan menamparku. Ah, Kinara, benarkah aku sudah melupakanmu? Benarkah selama
ini aku hanya memikirkan diriku sendiri?
Segera kuputar kaset Afgan darimu. Tepatnya, kaset
Afgan milikmu yang kamu berikan padaku. Kumainkan lagu keempat, yang berjudul Sabar.
Dan selama beberapa saat, aku terpaku, terdiam. Kemudian mulai menyadari
satu hal. Maafkan aku, Kinara. Sungguh maafkan aku...
©
Kinara
Pagi masih awal, namun aku sudah di sini. Di meja
kantin paling ujung, bertemankan secangkir cokelat panas. Entah apa yang
menyeretku ke meja ini dan berdiam di sini. Ingin melamunkan sosoknya lagi,
namun aku sudah lelah. Mungkin sekarang ia sedang sibuk dengan semua gadisnya
itu.
“Syukurlah, lu udah di sini, Nara,” aku mendongak
mendengar suara itu. Seketika, aku kehilangan kata-kata, saat kudapati senyum
manis yang melebar di hadapanku itu. Benarkah ini dia? Benarkah ini Arya
Mayundra-ku?
“Iyaa, ini gue, Arya Mayundra lu, Nara,” ucapnya,
seolah tahu apa yang menggema di kalbuku. “Gue mau curhat!” sambungnya, seraya
duduk di hadapanku. Aku menghela napas, bersiap merasakan hatiku remuk lagi.
“Ra, ternyata selama ini gue buta. Gue bisa lihat
gadis-gadis di kejauhan yang sebenernya nggak tulus cinta sama gue, tapi gue
malah nggak ngelihat cewek yang sabar dan begitu tulus mencintai gue, meski gue
udah berkali-kali nyakitin dia,”
Aku menatapnya tak mengerti. Namun dia tak peduli,
malah terus melanjutkan ceritanya.
“Ternyata Sheila nggak beneran suka sama gue, Ra.
Seminggu yang lalu, dia nolak gue. Gue bener-bener sakit saat itu, Ra. Dan di
saat sakit itu gue baru sadar, kalau selama ini ada seseorang yang selalu ada
buat gue, bahkan sebelum gue minta. Lu tahu siapa?”
Aku hanya menggeleng. Lagi-lagi Arya tersenyum,
beranjak sebentar. Lalu kembali padaku dengan sebuah gitar. Aku terdiam takjub.
Intro gitar merdu terdengar, kemudian suara Arya mulai memenuhi ruang
telingaku.
“Sabar, sabarlah Naraku
Hanya sementara, ku harus
dengannya
Ku harus bersamanya dulu...
Kini kau paling kucinta
Kini kau paling kumau
Maukah dirimu menjadi pemilik
hatiku...”
Senandung itu berakhir. Aku terpaku dalam senyuman.
Kemudian kurasakan mataku basah. Arya menarikku berdiri, menggenggam tanganku.
Sejenak menghapus basah yang mulai mengaliri pipiku.
“Makasih banyak atas kado lu ya! Itu yang
menginspirasi gue menggubah sedikit lagu Sabar. Bagus nggak?” ia meminta
pendapatku. Aku mengangguk.
“Oh, ya, ini buat lu!” Arya merogoh saku celana
abu-abunya, mengeluarkan sebuah gantungan kunci berbentuk botol. Di permukaannya
ada namaku, yang ditulis dengan tinta timbul berwarna ungu.
“Makasih, Arya,” ucapku lirih. Arya menggeleng.
“Gue yang lebih berterimakasih. Karena lu bisa
sesabar itu mencintai gue. Gue...gue sayang lu, Nara...” mendengar perkataan
Arya, aku berairmata lagi. Aku ingin berucap, namun Arya segera menempelkan
telunjuknya di bibirku.
“Gue udah tahu jawabannya. Sungguh terimakasih, Aisha
Kinara,” ucapnya, lalu memelukku. Aku tersenyum bahagia dalam pelukannya.
©
Dibuat untuk Kompetisi Blog
#SabarGan
Komentar
Posting Komentar